SELAMAT DATANG,AHLAN WASAHLAN WAMARHABAN BIKUM...TERIMA KASIH KERANA MELAYARI BLOG WILAYAH SELATAN,MOGA SEGALA MAKLUMAT DAN MAKLUMAN YANG ADA INI SERBA SEDIKIT DAPAT MEMBANTU ANDA SECARA TIDAK LANGSUNG...SELAMAT MELAYARI...

Thursday, November 12, 2009

Siapa Pencetus Gelaran Wahabi

Oleh: Al-Ustadz Jalâl Abŭ Alrŭb
Sumber: http://abusalma.wordpress.com/

Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup berminat menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ‘ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam. [Lihat : Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh : Dârul Habîb : 2000; hal. 55]. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India.

Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai ‘Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.* Banyak ‘Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.**



Catatan :
* W.W. Hunter dalam bukunya yang berjudul “The Indian Musalmans” mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa : “There is no fear to the British in India except from the Wahhabis, for they are causing disturbances againts them, and agitating the people under the name of jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British and their authority.” [“Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhâbi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama jihâd untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”] Lihat: W.W. Hunter, “The Indian Musalmans”, cet.1 di London: Trűbner and Co., 1871; Calcuta: Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi: Rupa & Co., 2002 Reprint

** Di Bengal selama masa ini, banyak kaum muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan “Wahhâbi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris kemudian digantung pada tahun 1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas Salafî-Ahlul Hadîts, seperti Syaikh Ja’far Tsanisârî, Syaikh Yahyâ ‘Alî (1828-1868), Syaikh Ahmad ‘Abdullâh (1808-1881), Syaikh Nadzîr Husain ad-Dihlawî dan masih banyak lagi lainnya. Untuk bacaan lebih lanjut, silakan lihat :

Mu’înud-dîn Ahmad Khân, A History if The Fara’idi Movement in Bengal (Karachi: Pakistan Historical Society, 1965).

Barbara Daly Metrcalf, Islamic Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1982), hal. 26-77.

Qiyâmud-dîn Ahmad (Professor Sejarah di Universitas Patna), The Wahhabi Movement in India (Ner Delhi: Manohar, 1994, 2nd edition). Terutama pada bab tujuh “The British Campaigns Againts the Wahhabis on the North-Western Frontier” dan bab kedelapan “State Trials of Wahhabi Leaders, 183-65.”

Muhammad Ja’far, Târikhul ‘Ajîb dan Târikhul ‘Ajîb – History of Port Blair (Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition).


Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan ‘Utsmâniyyah (Ottomans), Ibrâhîm Basyâ (Pasha), anak angkat Muhammad ‘Alî Basyâ (Pasha), juga menggunakan istilah ‘Wahhâbi, Khowârij dan Bid’ah (Heretics)’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb dan Negara Saudî [Lihat: ibid, hal. 70]. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrâhîm Basyâ memberontak dan menyerang khilâfah ‘Utsmâniyyah dan hampir saja menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim mengatakan :

“Kaum Orientalis terdahulu, menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah, Wahhâbî, Wahhâbis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk menyandarkan (menisbatkan) istilah ini kepada gerakan dan pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb. Beberapa diantara mereka bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz. Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya, padahal para pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb tidak menyandarkan diri mereka kepada istilah ini.

Margoliouth sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah ‘Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup ‘pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh para pengikut dakwah ini di Jazîrah ‘Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. [D.S. Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108. Artikel karya Margoliouth yang berjudul ‘Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 (New York: E.J. Brill, 1987 Reprint) vol.8 , hal.1087 karya M.T. Houtsma, T.W. Arnold, R. Basset, R. Hartman, A.J. Wensinck, H.A.R. Gibb, W. Heffening dan E. Lêvi-Provençal (ed) dan The Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden and London: E.J. Brill and Luzac & Co., 1960), hal. 619 karya H.A.R Gibb, J.H. Kramers dan E. Lêvi-Provençal (ed). Artikel ini juga dicetak ulang dalam :

Reading, UK: Ithaca Press, 1974

Leiden: Brill, 1997

Dan cetakan pertama, Leiden and London: E.J. Bril and Luzac & Co., dan New York: Cornel University Press, 1953.]

Thomas Patrick Hughes menggambarkan “Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang didirikan oleh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah” (Muhammadans), malahan, mereka menyebutnya sebagai ‘Wahhâbî’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh… [Thomas Patrick Huges, Dictionary of Islam, hal. 59].

George Rentz mengatakan bahwa istilah ‘Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan ‘Wahhâbî’ ini beranggapan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ‘ad-Da’wah ila’t Tauhîd’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah ‘Muwahhidŭn’… [George Rentz dan AS.J. Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East: Three Religion in Concord and Conflict, Vol.2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hal. 270]. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika menggunakan istilah ‘Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi.

[Lihat: Nâshir ibn Ibrâhîm ibn ‘Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd`ul Wahhâb: Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya: Dirôsah Naqdîyyah (Riyadh: Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan Studi Islam, 1423/2003) hal. 86-7. Buku ini juga dapat dilihat secara online di http://islamport.com/d/3/amm/1/100/2213.html] .

Biar bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini , baik dari masa lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya :

Mereka menyebut dakwah Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb sebagai ‘Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh ‘Abdul Wahhâb, namun oleh puteranya Muhammad.

Pada awalnya, ‘Abdul Wahhâb tidak menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya.

Musuh-musuh dakwah, tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan ayahnya, ‘Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan.

Istilah “Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan seruan (dakwah) untuk berpegang al-Qur`ân dan as-Sunnah dan suatu indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang berdakwah untuk mentauhîdkan Allôh semata serta memerintahkan untuk mentaati semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Hal ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah. [Lihat: Qodhî Ahmad ibn Hajar Alu Abŭthâmi (al-Bŭthâmi), Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb : His Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66]. Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya. Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan terang, yang Alloh mengutus semua Nabi-Nya ‘alaihim`us Salâm untuknya (untuk dakwah tauhîd ini).

Menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah’ ini, tidak akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imâm Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb secara antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah beliau. Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan al-Qur`ân dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu.

Perlu dicatat pula, bahwa diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhîd adalah, adanya penghormatan yang sangat besar terhadap al-Qur`ân dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan (tashfiyah) dan mendidik (tarbiyah) bahwa peribadatan hanya milik Allôh semata serta memberikan respek terhadap para sahabat nabî dan para ‘ulamâ` Islâm. Mereka adalah kaum yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafî bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur. Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para pengikut dakwah, bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang, menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”.

Imâm Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru, namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai dari generasi pertama Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka dengan lebih baik.

Prof Dr Yusuf al-Qardhawi pun dituduh Wahabi

Prof Dr Yusuf al-Qardhawi pun dituduh Wahabi
Oleh : Yussamir Yusof
Sumber: http://www.yussamir.com/


Meninjau kembali sejarah dan liku-liku perjuangan Prof Dr Yusuf al-Qardhawi, seseorang itu pasti akan menimba pelajaran yang sangat besar dari tokoh besar ini. Kehidupannya yang penuh dengan ilmu dan dakwah, membentuk diri beliau sebagai seorang sarjana dan ilmuan islam yang disegani pada zaman ini.


Ketika anak-anak murid beliau mengadakan seminar memperingati jasa dan ketokohan beliau serta menamakan beliau sebagai Al-Imam. Air mata beliau menitis deras membasahi janggutnya, kemudian tokoh besar ini berkata, “Sesungguhnya tidaklah layak aku memakai gelaran ini. Aku hanyalah seorang penuntut ilmu, dan akan terus menuntut ilmu hingga akhir hayatku.”


Kesarjanaan dan ketokohan beliau telah diakui oleh beratus malahan beribu ulama besar yang lain di seluruh dunia. Beliau yang sering dijoloki dengan gelaran Al-Imam Al-Wasatiyah (Imam yang bersederhana) bukan sahaja memberi pengaruh yang besar dalam dunia intelektual, malahan memberi sumbangan dalam dunia politik Islam.


Namun begitu, tokoh Ilmuan Islam ini semasa mudanya menempuhi pelbagai dugaan dan cabaran bukan sahaja dari luar malahan dari dalam pusat pengajiannya. Suatu ketika dahulu, beliau berhadapan dengan pelbagai konterversi hanya kerana beliau menegur gurunya berkaitan dengan perkara khurafat yang berlaku di sekitar Mesir. Atas peristiwa ini, beliau digelar oleh gurunya dengan gelaran Wahabi!


Bukan setakat di bilik darjah, di tempat tinggalnya juga beliau terpaksa menangani kekecohan dari penduduk tempatan yang mendakwa beliau telah menghina para ulama kerana mengeluarkan pandangan yang berbeza.


Dalam Mukadimah buku beliau Fatwa Mu’asarah, beliau menulis, “Pada mulanya saya menimbulkan kekecohan di kalangan orang ramai. Mereka tertanya-tanya: “Bagaimana pemuda ini berani berbeza pandangan dengan syeikh-syeikh besar? Bagaimana dia mengajar orang-orang bukan daripada kitab-kitab muktabar? Bagaimana dia boleh mengeluarkan pandangan-pandangan yang sebelum ini belum pernah kami dengar?” Saya menghadapi hal ii dengan penuh tabah sambil mempertahankan pandangan. Saya katakana kepada orang-orang yang tidak bersetuju: “Di antara saya dan kamu ialah al-Quran dan Sunnah. Oleh itu marilah kita kembali kepadanya.”


Prof Dr Yusuf al-Qadhawi mengharungi tuduhan dan fitnah ini dengan penuh takwa dan sabar. Kerana beliau sedar dan yakin bahawa hak sentiasa akan ditentang oleh kebatilan. Malahan al-Quran dan as-Sunnah telah menceritakan bagaimana sukarnya perjuangan Nabi Muhammad shallahu-alaihi wasalam menyebarkan risalah tauhid dan membersihkan kesyirikan manusia ketika itu. Kerana yakin dan tahu bahawa hanya kebenaran yang dibawa, Prof Dr Yusuf al-Qardhawi tidak berganjak dengan prinsip dan seruan tajdidnya(pembaharuan) terhadap agama. Kesungguhan dan keyakinan beliau terhadap seruan kembali kepada al-Quran dan Sunnah (tajdid) atas prinsip dan kefahaman para sahabat dan tabien, telah memberi pengaruh yang besar dalam dunia Intelektual Islam.


Jika disoroti perjalanan dakwah dan kesarjanaan Al-Qardhawi, ia hanyalah kesinambungan dan kelansungan perjuangan Ulama-ulama besar sebelum beliau. Misalnya al-Imam Ibnu Taimiyah dan al-Imam Ibnu al-Qoyim yang sinonim dengan gerakan Tajdidnya dan usaha mereka memerangi syirik dan bid’ah.Tuduhan dan fitnah yang sentiasa bermain di bibir masyarakat kepada al-Qardhawi masih wujud sehinggalah masa kini, setelah beliau dikenali sebagai Sarjana dan Ilmuan Islam besar. Istilah-istilah Wahabi masih lagi terus wujud dan diletakkan di bahu beliau. Malahan tuduhan bahawa beliau Muktazilah serta kafir turut berlegar di kalangan mereka yang membenci tokoh ini. Namun, beliau tidak pernah beranjak sedikit pun dari prinsip dan perjuangannya. Walau ditohmah dan dituduh dengan gelaran Wahabi dan sebagainya, beliau tidak pernah menganggapnya sebagai batu penghalang kepada seruannya kepada umat Islam agar kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.


Menariknya apabila ditanya kepada beliau tentang Muhammad bin Abdul Wahab, seorang tokoh islam yang dituduh dengan pelbagai tuduhan serta mengaitkan tokoh ini dengan gelaran Wahabi. Al-Qardhawi menjawab dalam bukunya Feqh al-Auliyat (Feqah keutamaan) , “Perkara pokok dalam da'wah Imam Muhammad bin Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia ialah pada bidang aqidah, untuk menjaga dan melindungi tauhid dari berbagai bentuk kemusyrikan dan khurafat yang telah mencemari sumbernya dan membuat keruh kejernihannya. Dia menulis berbagai buku dan risalah, serta menyebarkan dan mengamalkannya dalam rangka menghancurkan berbagai gejala kemusyrikan.”Justeru, jika ada tokoh atau Sarjana Islam yang membawa misi yang sama dan seruan yang sama maka bersiap-siaplah untuk mendapat gelaran Wahabi; yang anda sendiri tidak tahu menahu tentang terminologi ini.Kepada mereka yang suka bermudah-mudah dan ringan mulut memburukan dan membuat tuduhan di atas nama agama. Marilah kita muhasabah dan bersikap amanah dalam menyebarkan ilmu. Buangkan prasangka, sikap ujub serta tabiat melabel-labelkan orang, lebih-lebih lagi apabila kita bercakap atas tiket agama. Firman Allah dalam surah al-Hujrat ayat 12, “hai orang-orang yang beriman. Jauhilah banyak bersangka-sangka, kerana sesungguhnya sangkaan itu berdosa”Dikuatkan lagi dengan pesanan Nabi Muhammad shallahu-alaihi wasalam, “Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, kerana sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan” (Hadith direkodkan Imam Bukhari).


Maka beruntunglah mereka yang tetap di jalan kebenaran, dan jika anda berani untuk mengaku sebagai wahabi, hafallah dan telanlah ucapan HAMKA ini sebagai panduan apabila diasak dengan soalan, “Adakah anda Wahabi?.”“Bagi kami yang dikatakan kaum muda itu tidaklah keberatan jika dituduhkan Wahabi. Kalau 20 atau 30 tahun yang lalu semasa pengetahuan agama hanya boleh dipercayai oleh mufti-mufti sahaja, mungkin orang takut dikatakan Wahabi. Tetapi sekarang orang telah tahu bahawa Wahabi tidak lain adalah daripada penganut Mazhab Hanbali yang keras mempertahankan Sunnah. Dan yang berpengaruh memperbaharui (Tajdid) faham Mazhab Hanbali itu ialah Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyim. Oleh sebab itu bagi kami dituduh Wahabi bukanlah satu penghinaan.” (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah dalam tulisannya terhadap Mufti Johor as-Sayyid Alwi bin Tahir al-Haddad pada tahun 1958)